Berdasarkan konsep dasar, minimalisasi limbah cair industri tekstil adalah dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah atau volume limbah dengan konsentrasi dan beban pencemaran yang minimal, upaya pencegahan pencemaran lingkungan hidup melalui pendekatan peminimalan limbah, yakni dengan cara pengurangan limbah (recycling) pada hakikatnya adalah manifestasi komitmen yang berwujud nyata mencegah gangguan pencemaran lingkungan hidup dalam skala yang lebih besar dan mengancam kehidupan masyarakat.
Prinsip-prinsip pokok dalam sistem manajemen lingkungan hidup terpadu digambarkan oleh Elina Hasyim, sebagai berikut:
1. Reduksi pada sumber dan pemanfaatan kembali adalah upaya mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan bakar, air, dan energi serta menghindari pemakaian bahan baku yang beracun dan berbahaya, disertai dengan pengolahan bahan baku dan house keeping yang baik agar tidak menambah beban pencemaran
2. Pengolahan limbah dilakukan setelah limbah tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan, selanjutnya pembuangan limbah sisa pengolahan disesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah
3. Sistem manajemen lingkungan hidup terpadu harus disertai perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak di lingkungan industri
4. Industri yang melaksanakan sistem manajemen lingkungan hidup terpadu dapat dikategorikan sebagai industri yang telah menerapkan prnsip eco-eficiency yang merupakan bagian dari konsep ekologi industri, yakni tidak mengenal limbah
Pengendalian Pencemaran Limbah Industri Secara Terpadu
Pencemaran lingkungan hidup akibat buangan limbah industri tekstil sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa cepat atau lambat mengganggu kehidupan masyarakat dan dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup secara berkesinambungan. Oleh karena itu, upaya pengendalian pencemaran limbah industri tekstil ini secara terpadu diharapkan lebih membantu efektivitas pengendaliannya.
Keterpaduan aspek dalam pengendalian limbah industri tekstil, selain penerapan teknologi dan produk bersih, dan pengolahan limbah adalah upaya minimasi (pengurangan) limbah secara terpadu oleh perusahaan-perusahaan industri tekstil. Menurut Isminingsih Gitoparmodjo dan Wiwin Winiati, peminimalan limbah ini dapat dilakukan terhadap beberapa kegiatan kunci, antara lain:
1. Pengurangan limbah (source reduction) melalui beberapa perubahan produk, pencegahan dan perencanaan yang cermat
2. Kontrol bahan (source control) terhadap perubahan input bahan, perubahan teknologi dan pelaksanaan operasi yang baik
3. Kontrol terhadap kegiatan daur ulang (recycling) baik di dalam maupun di luar lokasi industri, seperti pemanfaatan dan penggunaan kembali (use and reuse), dan reklamasi (recovery) untuk mengembalikan bahan pembantu dari limbah
Pemanfaatan Konsep Ekologi Industri dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Persoalan lingkungan hidup dalam beberapa dekade terakhir ini menurut kajian kalangan teoritis semakin meluas, mulai dari polusi udara dan air, menuju pada masalah-masalah seperti penggundulan hutan dan pengikisan lapisan tanah, penipisan lapisan ozon dan pemanasan global. Fakta telah menunjukkan bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang tidak tercemar dan tidak ada industri manapun yang dapat terbebas dari tanggung jawab atas berbagai kerusakan lngkungan hidup yang terjadi.
Terdapat tiga prinsip kunci pembangunan berkelanjutan yang menjadi tujuan ekologi industri, antara lain:
1. Pencegahan sumber daya alam yang berkelanjutan. Ekologi industri mengembangkan prinsip untuk lebih mengutamakan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
2. Menjamin mutu atau kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Kualitas hidup manusia bergantung pada kualitas komponen-komponen lain dalam ekosistem, sehingga hal ini menjadi fokus dalam konsep ekologi industri
3. Memelihara kelangsungan hidup ekologi sistem alam (environmental equity). Tantangan utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mencapai keadilan antar generasi dan antar masyarakat
Terdapat beberapa perspektif dalam konsep ekologi industri yang dikemukakan oleh Robert coolow yang dikutip oleh Suma T. Djajadiningrat dan Melia Famiola, kiranya dapat memperjelas ruang lingkup konsep ini dalam kaitannya dengan upaya-upaya industri tekstil melindungi lingkungan hidup dari dampak-dampak negatif akibat aktivitas usahanya. Bberapa perspektif dalam ekologi industri itu, antara lain:
1 Ekologi industri berfokus kepada tujuan kelanggengan hidup untuk jangka panjang (longterm habitability) daripada jangka pendek
2. Ekologi industri berfokus pada masalah-masalah yang bersifat lokal, nasional, regional, dan global
3. Ekologi industri berfokus pada kasus-kasus yang berubungan dengan aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dengan sistem alam
4. Ekologi industri muncul dengan tujuan untuk memahami dan memproteksi keseimbangan antara sistem alam dengan sistem manusia ketika mengidentifikasi dan mencoba meminimalisasi dampak-dampak terhadap sistem-sistem yang sangat sensitif
5. Ekologi industri menggunakan teknik-teknik sistem sebgai Mss-flow analysis untuk memahami sistem eknomi dan lingkungan hidup
6. Ekologi industri memandang pelaku-pelkau ekonomi (perusahaan-perusahaan swasta) sebagai pelau sentral guna mengurangi dampak-dampak lingkungan hidup dan mencari cara untuk memahami bagaimana perilaku-perilakunya lebih berwawasan lingkungan daripada memandang perusahaan-perusahaan swasta itu sebagai penyebab masalah.
Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup ini dimaknai sebagai upaya mewujudkan lingkungan hidup terhindar dari resiko pencemaran atau perusakan akibat kecerobohan atau kelalaian pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan yang dilakukannya, seperti kegiatan perusahaan-perusahaan industri di tanah air.
Prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup, secara teoritis-idealistis adalah sebuah prinsip yang menghendaki upaya-upaya konkret dilapangan untuk mewujudkan eksistensi kelestarian fungsi lingkungan hidup secara terus-menerus dari ancaman pencemaran atau kerusakan dari ancaman pencemaran atau kerusakan akibat kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha atau kegiatan. Idealisme yang melandasi prinsip ini pada intinya adalah proses atau cara yang tepat untuk melakuan beragam upaya untuk mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
a. Amdal sebagai piranti pengendalian dampak lingkunganKonsep amdal sebagai salah satu piranti penting dalam upaya mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dari ancaman dan pencemaran limbah industri. Amdal sebagai nilai esensial karena diterima sebagai instrumen nasional, sehingga menjadi komitmen perusahaan-perusahaan nasional untuk mengaktualisasikan dalam aktivitas ekonominya.
Pengaturan Amdal dalam perundang-undangan nasional melalui Undang Undang Nomor 32 Tahun 1997 (UUPLH) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dinyatakan : “Amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 5 ayat (1) UUPLH menghendaki pula bahwa: “setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang dapat penimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal”.
b. Pengelolaan limbah oleh industri
Upaya lain dalam pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan oleh pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan industri nasional adalah pengelolaan limbah industrinya. Selain Amdal yang disyaratkan oleh UUPLH, upaya pengelolaan limbah industri ini menjadi kewajiban pula pelaku usaha untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup akibat limbah yang dihasilkan.
Karakteristik limbah industri sebagaimana dipahami mengandung bahan-bahan organik dan non organik yang berpotensi merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup secara permanen, karena bahan-bahan ini mengandung zat-zat kimia yang jika dibuang sembarangan dapat membahayakan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.
Pengelolaan limbah industri secara teknis operasional adalah secara teknis operasional adalah proses industri dapat mencegah atau mengeliminasi sisa-sisa bahan produksi berwujud limbah itu, tidak mencemari lingkungan hidup. Proses indsustri dalam pengelolaan limbahnya dapat berwujud modifikasi proses industri, daur ulang limbah industri, pemilihan jenis teknologi pengolah limbah industri dan relokasi industri (syamsuharya, 2008: 290).
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:
1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
8) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH disebutkan:
(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pencemaran Limbah
Kasus pencemaran limbah oleh PT Surabaya Kertas yang menyebabkan kandungan logam berat raksa bertambah banyak di kali Surabaya ataupun kali tengah memperlihatkan betapa tidak tanggapnya pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah propinsi Surabaya. Hal yang diherankan adalah pemerintah propinsi Surabaya yaitu gubernur melalui Bapedal Jatim mengeluarkan surat ijin pembuangan limbah cair atau IPLC kepada PT Surabaya Kertas. Melihat tugas dan wewenang pemerintah daerah yang pada pasal 63 ayat 2, diterangkan bahwa pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah propinsi Surabaya berwenang melakukan penegakan hukum pada tingkat propinsi. Pemerintah propinsi cenderung melindungi PT Surabaya Kertas dalam penanganan pencemaran limbah ke kali Surabaya dan kali tengah yang dilakukan oleh PT Surabaya Kertas tersebut. Gubernur juga mengeluarkan surat ijin pembuangan limbah cair ke badan sungai kali Surabaya, padahal kali Surabaya ini merupakan penyuplai atau bahan baku air minum bagi 3.000.000 warga kota Surabaya. Akibatnya, kesehatan warga Surabaya sendiri akhirnya terancam dengan adanya kandungan logan berat yang berbentuk mercury atau air raksa yang berbahaya bagi kesehatan manusia itu sendiri serta biota-biota yang hidup di sepanjang aliran sungai.
Menanggapi tersebut, perlu dibahas mengenai hukum perundang-undangan tentang lingkungan. Terkait dengan sanksi yang dapat diterapkan dalam kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Surabaya Kertas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah memberikan solusinnya, berikut adalah uraian secara singkat tentang penerapan sanksi bagi perseorangan atau badan hukum yang telah melakukan pencemaran lingkungan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Ada 3 jenis sanksi yang dapat diterapkan pada badan hukum yang telah terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Sanksi tersebut adalah sanksi administrasi, sanksi pidana dan sanksi ganti rugi yang terdapat dalam ranah hukum perdata.
Pada pasal 76 sampai dengan pasal 83 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dijelaskan tentang sanksi administratif yang dapat diterapkan terhadap PT Surabaya Kertas. Sansi administratif dapat berbentuk teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Pada pasal 78 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 tidak membebaskan penanggungjawab usaha dan atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan pidana. Dari pasal tersebut badan hukum itu selain dapat dijerat oleh sanksi administratif dapat pula dijerat dengan sanksi pidana. Pada pasal 80 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah dijelaskan bentuk-bentuk paksaan pemerintah yang dapat dijatuhkan kepada badan hukum terkait dengan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Bentuk-bentuk paksaan pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Penghentian sementara kegiatan produksi
2. Pemindahan sarana produksi
3. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
4. Pembongkaran
5. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
6. Penghentian sementara seluruh kegiatan
7. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup
Pada pasal 81 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 setiap penanggungjawab usaha yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Hukum pidana yang dikandung oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dicatat telah mengalami kemajuan yang sangat berarti, jauh lebih berkembang dari lingkup jangkauan yang dimiliki KUHP, UUPLH 1982, dan UUPLH 1997. Proses penegakan hukum pidana meliputi tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap prosekusi, tahap peradilan, dan tahap eksekusi. Prinsip-prinsip hukum pidana yang terkandung dalam hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai berikut:
1. Prinsip pemidanaan secara delik formal maupun materiil
2. Prinsip pemidanaan terhadap idividu
3. Prinsip pemidanaan terhadap korporasi
4. Prinsip pembedaan atas perbuatan kesengajaan dengan kelalaian
5. Prinsip penyidikan dengan tenaga khusus di bidang lingkungan
6. Prinsip pengenaan sanksi pidana secara khusus
Dasar hukum pemidanaan bagi pelaku kejahatan lingkungan baik perseorangan maupun badan hukum terdapat pada pasal 97-120 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Untuk lebih jelasnya sebagai contoh pasal 102 UUPLH 2009 dikutipkan sebagai berikut: “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat 4, dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah).” Sesuai dengan pasal ini, seseorang dapat disebut telah melakukan delik lingkungan hidup ternyata sudah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, melakukan perbuatan dengan sengaja atau lalai dan menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup menurut undang-undang.
Terdapat juga ruang mengenai hukum perdata. Salah satu aspek mengenai keperdataan di dalam di dalam UU ini adalah mengenai pertanggungjawaban ganti rugi (liability). Ganti rugi dalam kejahatan korporasi terhadap lingkungan adalah sebagian dari hal-hal yang berhubungan dengan tanggungjawab mengenai kerusakan lingkungan oleh perbuatan seseorang (environtmental responsibility). Tanggungjawab lingkungan adalah merupakan rangkaian kewajiban seseorang atau pihak untuk memikul tanggungjawab kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. UUPPLH 2009 menentukan environmental responsibility baik masalah ganti rugi kepada orang-perorangan (privat compensation) maupun biaya pemulihan lingkungan (public compensation). Dengan demikian sifat environmental liability bisa bersifat privat maupun publik, dalam arti jika seseorang pencemar telah memenuhi tanggungjawabnya kepada orang-perorangan, tidak berarti dengan sendirinya sudah selesai dan tidak lagi dalam hal pemulihan lingkungan atau sebaliknya.
Dengan meilihat lagi keterangan-keterangan di atas maka dalam rangka penerapan sanksi dan bentuk sanksi itu sendiri bagi PT Surabaya Kertas adalah terdiri dari petanggungjawaban secara administratif yakni dari yang paling ringan adalah teguran tertulis sampai yang paling berat adalah pencabutan ijin usaha. Selain itu, dalam ranah hukum pidana, pelaku pencemaran lingkungan dalam hal ini dapat dikenakan sanksi penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah). Dalam hal ini yang terkena ancaman pidana ini adalah aktor intelektual atau penyebab pencemaran atau penaggung jawab pengolahan limbah pada PT Surabaya Kertas sesuai dengan pasal 102 UU no 32 tahun 2009. Dan bentuk sanksi yang terakhir adalah sanksi dalam ranah hukum keperdataan adalah ganti rugi untuk perseorangan yakni korban (privat compensation) serta baya pemulihan lingkungan (environmental responsibility) yang telah tercemar oleh limbah.
Sumber :http://fairuzinanda.blogspot.sg/2015/04/kasus-pelanggaran-terhadap-uu-mengenai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar