BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kemajuan
teknologi yang meningkat pesat yang membawa manusia pada kemudahan dan
kepraktisan hidup bila dibandingkan dengan sekian ribu tahun yang lalu. Umat manusia
dengan mudah untuk mendapatkan informasi mengenai orang lain melalui smartphone. Pengguna juga dapat dengan
mudah untuk membuka jejaring sosial yang ada, seperti facebook, twitter, path, instagram dan lain-lain. Dengan jejaring
sosial yang dimiliki oleh tiap individu dapat kembali menjalin komunikasi
dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak pernah bertemu, melalui jejaring sosial
ini juga individu yang satu dengan individu yang lain dapat berkenalan dan
dapat dijadikan teman atau sahabat dan tidak jarang lagi di dengar melalui
jejaring sosial ada orang yang menemukan pasangan hidup dan akhirnya menikah,
yang awalnya hanya chatingan biasa,
kemudian berkenalan satu sama lain, mengobrol, saling tukar nomor handphone dan sampai akhirnya keduanya
saling menyukai karena mungkin keduanya merasa memiliki banyak kesamaan atau
kecocokan seperti hobi, minat atau bakat atau bahkan karena bahan pembicaraan yang
seru.
Kementerian
komunikasi dan informatika (kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di
Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95% menggunakan
internet untuk mengakses jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi
International Komunikasi dan Informasi, Selamatta Sembiring, menyatakan jejaring
social yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia
menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil dan India.
Sementara, Indonesia menempati peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia.
Posisi Indonesia hanya kalah dari USA, Brazil, Jepang dan Inggris (Pratomo dalam merdeka.com, 2013). Aplikasi
foto Instagram rupanya kian menjadi favorit. Total pengguna yang melakukan login mencapai 300 juta per bulannya.
Sedangkan pengguna aktif perbulannya diklaim berjumlah 284 juta. Jumlah
tersebut mengalami pengkatan signifikan. Sebab pada 2013, pengguna aktif
perbulannya hanya 150 juta (Movementi dalam tempo.co.id, 2014).
Persentase
aktivitas jejaring sosial Indonesia mencapai 79,72%, tertinggi di Asia,
mengalahkan Filipina (78%), Malaysia (72%), China (67%). Bahkan negara Asia
dengan teknologi internet maju
pemanfaatan media sosialnya rendah, contohnya Korea Selatan (49%) atau Jepang
(30%). Sesuai data survei Facebook, 33 juta penduduk negara Indonesia membuka
media sosial buatan Mark Zuckerberg itu dari computer dan 28 juta orang membuka
Facebook dari ponselnya. Data brand24 menunjukkan, Jakarta sebagi kota paling
riuh menyumbang kicauan di liminasa global. Dari 10,6 miliar twit saban detik
2,4 persen disumbangkan oleh pengguna asal Jakarta. Pada puncak kejayaan
Friendster, pada 2008, peggunannya secara global mencapai 8,2 juta yang
terdaftar. Perusahaan asal Mountain View, California ini mengatakan pengguna
Linkedin asal Indonesia sudah melampaui 2 juta. Artinya, jumlah ini yang
tertinggi di Asia Tenggara. Data terbaru Path menunjukkan, dari total 20 juta
pengguna di seluruh dunia, 4 juta berada di Indonesia (Mohamad dalam
merdeka.com, 2013).
Contoh fenomena yang terjadi, sejak Facebook populer, banyak jejaring sosial baru
yang ikut bermunculan. Menurut peneliti, situs-situs jejaring sosial tersebut
adalah sarana yang tepat untuk umbar kenarsisan. Dengan semakin majunya
teknologi yang diiringi dengan maraknya penggunaan jejaring sosial dalam
keseharian, ternyata dapat menumbuhkan sifat narsisme manusia. Setiap manusia
memiliki sisi narsisme, namun toleransinya berbeda-beda. Dengan munculnya
jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Pinterest, Instagram dan lainnya, membuat sisi tersebut justru semakin dapat
mudah muncul dan berkembang. Dengan munculnya Facebook Home maka seseorang akan semakin mudah untuk
'mempublikasikan' dirinya. Tidak hanya di Facebook,
Pinterest, Tumblr, Instagram dan
Twitter adalah beberapa jejaring sosial lain yang sering digunakan untuk
'publikasi' diri selain Facebook.
Uniknya, ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa budaya narsis lebih banyak
hinggap pada remaja dibandingkan pada orang-orang dewasa, dikutip dari Natural News (Susanto dalam merdeka.com,
2013).
Melalui jejaring sosial kini
dapat digunakan untuk mengekspresikan diri, sebagai sarana berbagi pengalaman
hidup baik suka maupun duka. Khususnya jejaring sosial Instagram banyak orang
yang gemar mengunggah foto dan video
baik foto diri-sendiri, foto tentang aktivitas yang sedang dilakukan, foto
makanan, foto lokasi atau tempat yang sedang didatangi untuk menunjukkan
keberadaan orang tersebut. Menurut Khairunnisa (2014) Instagram merupakan
salah satu aplikasi atau fitur unggulan yang ada di smartphone yang memudahkan para pengguna untuk berbagi foto. Sistem
sosial di dalam Instagram adalah dengan menjadi pengikut akun pengguna lainnya,
atau memiliki pengikut Instagram. Dengan demikian komunikasi antara sesama
pengguna Instagram
sendiri dapat terjalin dengan memberikan tanda suka dan juga mengomentari
foto-foto yang telah diunggah oleh pengguna lainnya.
Kecenderungan seseorang untuk mengunggah suatu gambar
atau foto dengan tujuan untuk mencari perhatian dari orang lain, butuh
pengakuan serta pujian dari orang lain, dengan cara melihat seberapa banyak
orang yang memberikan tanda love pada
foto yang telah diunggah dan melihat comment
orang-orang tentang foto yang telah diunggah. Orang yang memiliki kecenderungan
narsistik seperti ini mengganggap bila sering mengunggah foto-foto ke jejaring
sosial instagram orang lain yang melihatnya akan mengatakan bahwa dirinya eksis.
Sehingga dengan cara seperti itu orang tersebut dapat menaikkan harga dirinya. Hal
ini didukung dengan pendapat Kristanto (2012) kecenderungan
narsistik adalah individu yang senang membanggakan diri sendiri secara
berlebihan dan senang membicarakan kehebatan dirinya dan ingin dipuji oleh
individu lain. Individu terkadang menganggap orang lain tidak terlalu penting
dan bahkan mengesampingkan orang lain dan sering menceritakan kehebatan dirinya
secara berlebihan dengan tujuan ingin dianggap sebagai orang yang mampu
melakukan suatu pekerjaan yang tergolong besar.
Generasi
sekarang adalah generasi paling narsis dalam sejarah. Sebuah penelitian mengemukakan
bahwa generasi sekarang adalah generasi paling narsis dalam sejarah. Kata
narsis atau dalam bahasa Inggris disebut narcissism berasal dari mitologi
Yunani kuno. Narsis diambil dari nama seseorang yang jatuh cinta kepada
bayangannya sendiri bernama Narcissus. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
narsis digolongkan pada penyakit mental. Bahkan ada kalanya, seseorang yang
'mengidap penyakit' narsis akan berlaku di luar nalar manusia normal. Berdasarkan
data yang berhasil dihimpun para peneliti dari Cooperative Institutional
Research Program (CIRP) dari Education Research Institute, University of
California-Los Angeles, dalam 3 dekade belakangan ini, remaja narsis meningkat
pesat. Seperti dilansir Helium, penelitian yang dimulai pada tahun 1966 sampai
sekarang ini berhasil mengungkapkan bahwa rata-rata remaja mempunyai anggapan
bahwa mereka adalah 'manusia super' atau memiliki kemampuan di atas rata-rata
yang patut ditunjukkan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain dari sisi
tubuh, paras, intelektual, kepemimpinan, dan banyak lagi. Uniknya, di sisi
lain, tingkat simpati, kooperasi dan spiritual mereka rata-rata malah turun drastis.
Mendukung penelitian di atas, seorang psychiatrist, Dr Keith Ablow mengemukakan
kepada Fox News bahwa situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan
sejenisnya merupakan sarana 'publikasi' jiwa narsis para remaja saat ini (Susanto
dalam Merdeka.com, 2013).
Narsis dan
Gaya Hidup Remaja. Jika dahulu, berfoto, narsis, take picture dilakukan untuk merekam dan mengabadikan momen-momen
tertentu sebagai dokumentasi historis, misalnya; foto kenegaraan, foto keluarga
dan foto ijazah serta foto-foto yang lain. Saat ini, berfoto telah menjelma
menjadi gaya hidup remaja, karena hampir dengan mudah menemukan handphone
berfitur kamera dengan harga terjangkau. Bernarsis ria di depan kamera dapat
dikatakan sebagai dokumentasi historis untuk kelak dijadikan kenangan. Terutama
momen-momen penting dalam perjalanan mengarungi kehidupan (Zaenuri dalam kompasiana.com, 2014).
Berdasarkan penelitian
Adi dan Yudiati (2009) Ada
hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan kecenderungan
narsisme pada pengguna Friendster.
Artinya, semakin rendah harga diri, maka semakin tinggi kecenderungan narsisme
pada pengguna Friendster, demikian
pula sebaliknya semakin tinggi harga diri, maka kecenderungan narsisme pada
pengguna Friendster rendah.
Menurut Coopersmith (dalam Susanti, 2012)
Harga diri (self-esteem) merupakan
suatu evaluasi atau hasil penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap
kemampuan yang dimilikinya. Penilaian yang dilakukan oleh individu dipengaruhi
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sejak masih kecil. Sedangkan menurut
Branden (dalam Rahman, 2013) Harga diri (self-esteem)
merupakan kecenderungan seseorang untuk merasa mampu di dalam mengatasi
suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan
integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri (self confidence) dan penghargaan pada diri sendiri (self respect). Oleh karena itu, ada dua
aspek dari self-esteem, yaitu
memiliki sense of personal efficacy
dan sense of personal worth.
Sedangkan menurut Gunawan (2011) Harga diri (self-esteem) didefinisikan sebagai
seberapa suka Anda terhadap diri Anda sendiri. Semakin Anda menyukai diri Anda,
menerima diri Anda dan hormat pada diri Anda sendiri sebagai seseorang yang
berharga dan bermakna, maka semakin tinggi harga diri Anda. Semakin Anda merasa
sebagai manusia yang yang berharga, maka Anda akan semakin bersikap positif dan
merasa bahagia. Harga diri Anda akan menentukan semangat, antusiasme, dan
motivasi diri. Harga diri Anda adalah penentu prestasi dan keberhasilan Anda.
Orang dengan harga diri yang tinggi memiliki kekuatan yang sangat luar biasa
besar dan akan bisa berhasil melakukan apa saja di dalam hidupnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi masalah maka peneliti ingin mengetahui :
1. Apa pengertian media sosial ?
2. Bagaimana pengaruh positif dan
negatif dari media sosial instagram untuk kalangan remaja?3. Bagaimana tingkat kecendrungan
narsistik dan harga diri pada kalangan remaja yang menggunakan Instagram?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian penelitian
ini dimaksudkan untuk :
1. Mengetahui fungsi dari media sosial yang digunakan oleh
para remaja
2. Mengetahui dampak positif dan negatif dari media sosial pengguna instagram di kalangan remaja.
3. Mengetahui hubungan antara harga diri dengan kecenderungan narsistik pada pengguna Instagram dikalangan remaja
D.
Batasan
Penelitian
Pembahasan Batasan Masalah dalam penelitian ini
bertujuan untuk membatasi pembahasan pada pokok permasalahan penelitian saja tentang tingkat narsisme kalangan remaja. Ruang lingkup di
kalangan remaja menentukan konsep utama dari
permasalahan sehingga masalah-masalah dalam penelitian dapat dimengerti dengan
mudah dan baik.
Batasan Masalah penelitian sangat penting dalam
mendekatkan pada pokok permasalahan yang akan dibahas. Hal ini agar tidak terjadi
kerancuan ataupun kesimpangsiuran dalam menginterpretasikan hasil penelitian dengan menggunakan software Spss.
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah seluruh remaja yang ada di kampus Gunadarma. Objek penelitiannya adalah kecendrungan mahasiswa dalam
menggunakan media social Instagram
dalam mempresentasikan dirinya dan narsisme di kampus Gunadarma.